Sabtu, Maret 14, 2009

Krisis Air di Indonesia

Air adalah zat paling esensial dalam kehidupan, hingga kini diperkirakan masih terus terancam krisis. Di satu pihak ketersediaan makin terbatas, bahkan di beberapa daerah sudah dapat dikategorikan kritis. Di lain pihak kebutuhan manusia akan zat tersebut terus bertambah. Menghadapi ketidak seimbangan tersebut, maka sumber daya air wajib dikelola lebih baik, dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras. “Dengan pengelolaan seperti sekarang ini, potensi air di Pulau Jawa terus menyusut hingga tinggal hanya sepertiganya saja kini.

Oleh karena itu bila kita tidak memperhatikan masalah ini, maka 15 tahun ke depan kita akan mengalami krisis air, Perhitungan ini menurutnya sangat masuk akal, mengingat pada tahun 1930, Pulau Jawa masih mampu memasok 4.700 meter kubik per kapita per tahun. Namun, saat ini total potensinya tinggal sepertiga atau sekitar 1.500 meter kubik per kapita per tahun saja. Jadi kalau kita berpegang pada perhitungan ini, diperkirakan tahun 2020 total potensi air akan menjadi berkurang hingga 1.200 meter kubik per kapita per tahun. Dan kalau diperhitungkan secara kelayakan ekonomi air, yang hanya 35 persen saja yang layak pakai. Berarti potensi aktual air kita hanya tinggal 400 meter kubik per kapita per tahun. “Ini jauh di bawah standar PBB, yaitu 1.100 meter kubik per kapita per tahun,”.

Sumber-sumber air bersih ini biasanya terganggu akibat penggunaan dan penyalahgunaan sumber air seperti:

1. Pertanian. Penghamburan air akibat ketiadaannya penyaluran air yang baik pada lahan yang diairi dengan irigasi (untuk penghematan dalam jangka pendek) dapat berakibat terjadinya kubangan dan penggaraman yang akhirnya dapat menyebabkan hilangnya produktivitas air dan tanah

2. Industri. Walaupun industri menggunakan air jauh lebih sedikit dibandingkan dengan irigasi pertanian, namun penggunaan air oleh bidang industri mungkin membawa dampaknya yang lebih parah dipandang dari dua segi. Pertama, penggunaan air bagi industri sering tidak diatur dalam kebijakan sumber daya air nasional, maka cenderung berlebihan. Kedua, pembuangan limbah industri yang tidak diolah dapat menyebabkan pencemaran bagi air permukaan atau air bawah tanah, seihingga menjadi terlalu berbahaya untuk dikonsumsi. Air buangan industri sering dibuang langsung ke sungai dan saluran-saluran, mencemarinya, dan pada akhirnya juga mencemari lingkungan laut, atau kadang-kadang buangan tersebut dibiarkan saja meresap ke dalam sumber air tanah tanpa melalui proses pengolahan apapun. Kerusakan yang diakibatkan oleh buangan ini sudah melewati proporsi volumenya. Banyak bahan kimia modern begitu kuat sehingga sedikit kontaminasi saja sudah cukup membuat air dalam volume yang sangat besar tidak dapat digunakan untuk minum tanpa proses pengolahan khusus.

3. Eksploitasi sumber-sumber air secara masal oleh rumah tangga.

4. Dan yang terakhir adalah masalah rendahnya partisipasi masyarakat mengenai hal tersebut.

Penanganan Krisis Air

Solusi yang dikampanyekan untuk mengatasi krisis air adalah implementasi teknologi, seperti dam dan pembuatan pipa saluran air. Solusi ini menjadi fokus dalam Forum Kyoto yang membuat sejumlah delegasi kritis merasa dipecundangi. Bagi kelompok ini, teknologi dam dan pipanisasi hanya solusi instan untuk menangani krisis air. Dalam jangka pendek, solusi tersebut mungkin bermanfaat, tapi tidak dalam jangka panjang. Pembuatan dam dipastikan akan membawa serentetan masalah yang tak kalah rumit.

Upaya menghambat laju deforestasi hutan, perbaikan ekosistem dengan mengeksploitasi kearifan lokal –pertanian polikultur, menanam tanaman yang tidak boros air adalah beberapa di antaranya— bisa menjadi solusi mengatasi kelangkaan air bersih. Hal lain yang bisa dilakukan adalah mengubah pola produksi dan konsumsi. Membuat peraturan tegas tentang pengolahan limbah, menjalankan seleksi terhadap izin HPH, menindak tegas para pelaku penebangan hutan alam, membatasi kepemilikan kendaraan pribadi,mencari alternatif bahan bakar fosil, dan sebagainya.

Banyak cara yang masih bisa dilakukan untuk menangani krisis air yang jauh lebih menyentuh akar permasalahan, dibandingkan sekadar memberikan solusi instan yang justru memperuncing perseteruan lama, utara-selatan dan kaya-miskin. Jika konsumsi dimaknai sebagai upaya untuk bertahan hidup, bukan untuk meraup keuntungan ekonomi, maka air sebenarnya cukup untuk setiap orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar